Minggu, 15 Februari 2015

Zhuo-Zhuo Abdurrahman Wahid (Gus Dur)



Kamis depan perayaan imlek, tahun baru bagi kaum Tionghoa dimulai. Saya pribadi jadi teringat oleh peristiwa Januari 2001 silam yang merupakan bulan yang paling diingat oleh kaum Tionghoa. Peristiwa itulah yang membuat kaum Tionghoa berbahagia karena Presiden Gus Dur (Abdurrahman Wachid) mencabut beleid rasis warisan orde baru yang berisi tentang pelarangan penggunaan aksara Tionghoa di Indonesia. Gus Dur juga menyatakan secara transparan bahwa surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia tidak berlaku lagi. Hal ini menunjukkan bahwa SBKRI yaitu KTP WN Tionghoa sudah tak lagi digunakan. Semua bisa memiliki KTP sebagai bukti bisu bahwa kewarganegaan secara sah. Kebijakan pemerintah di era Gus Dur tentu disambut kegembiraan oleh Kaum Chiness karena ketetapan Presiden  yang tak lain cucu pendiri NU KH Hasyim Asary. 

Tak hanya cukup hal tersebut, kebahagian Kaum Tionghoa saat itu, Gus Dur pun melakukan trobosan yang bisa dibilang amat berani, Agama Konghuchu pun diresmikan secara legal formal. Dahulu banyak kaum Tionghoa yang menganut agama Konghuchu tetapi secara catatan sipil mereka menulis agama selain Konghuchu seperti Kristen, Budha dan sebagainya. Tentu hal ini sangat miris, suatu kaum untuk hidup mereka harus mengakui agama lain, padahal sebenarnya dia bukanlah penganut agama itu.

Saya pribadi menyadari hal yang dilakukan Gusdur secara real memang tidak sepenuhnya benar dan salah membela Kaum Tionghoa pada saat itu. Gagasan yang diulaskan oleh Gus Dur dan direalisasikan tersebut bentuk yang mendasar atas perlakuan semua WN Indonesia yang setara dimata hukum dan pemberian hak asasi manusia yang tanpa membeda-bedakan. Indonesia sebenarnya punya modal dasar yang kuat untuk membangun sebuah tatanan yang pluralisme serta toleran. Islam contohnya dengan kebiasaan saat musim lebaran tiba pada mudik ke kampung halaman, tradisi unjung-unjung silaturrahmi ke sesama sanak saudara, pemberian uang kepada yang muda saat unjung-unjung lebaran dan sebagainya. Dalam masyarakat komunal tentu toleransi adalah kunci utama. Begitu pula perayaan Imlek yang akan segera datang. Perayaan tahun baru bagi kaum Tinghoa merupakan subkultur Indonesia yang layaknya tradisi-tradisi serupa lainnya.

Imlek tidak ada kaitannya dengan agama Konghuchu, banyak orang yang salah kaprah bahwa Imlek identik dengan agama tertentu. Saya ketahui di koran bahwa Imlek adalah masalah budaya, bukan agama. Orang Tiongkok agama apapun, tetap merayakan Imlek, walaupun di beragama Islam dan Kristen. Pada dasarnya Imlek menyerupai tradisi umat Islam yang sering silaturrahmi sebagai pengikat yang erat persaudaraan.

Semua bisa tercapai keharmonisan antar sesama bila kunci utama tetap kita pegang. T-O-L-E-R-A-N-S-I. Yah TOLERANSI antar umat harus ditegakkan. Di Indonesia rasa tersebut sudah mulai terancam. Sifat tersebut mulai tergerus sehingga pemikiran takfiri mudah terlontar. Pemikiran tersebut bila diukur parameter sudah mencapai stadium parah. Kasus seperti ini contohnya yang pernah saya lihat di berita, tak boleh menggunan bahasa Jawa karena itu bermula dari agama Hindu, maka pengguna bahasa Jawa dianggap Kafir mulai menggerus pemikiran-pemikiran umat Islam. Umat yang pro oleh pemikiran tersebut dinilai terlalu dangkal. Jangan sampai, ada yang berpemikiran pula mengucapkan selamat imlek hukumnya haram. Pendapat tersebut secara pribadi tidak setuju, seharusnya kita percaya diri dengan akidah yang kita anut, artinya tidak mengurangi keteguhan akidah kita walaupun mengucapkan selamat kepada kaum tersebut. Dakwah tidak harus dilakukan dengan jalan pedang.

Happy Chinese New Year 2566.
GONG XI FA CAI


Tidak ada komentar: